Salah satu kencenderungan manusia adalah saat menanggapi suatu hal, dia akan menjadi sangat PRO atau sangat KONTRA. Seolah suatu hal itu seperti film tentang jagoan yang harus dia bela mati-matian, tanpa berusaha untuk obyektif menilai.
Mei 2006 saya pernah pergi ke kota Trier, kota kecil dan kuno di perbatasan Jerman dengan Luxembourg. Kota ini adalah tempat Karl Marx dilahirkan. Mungkin tidak banyak turis/ traveler Indonesia yang tertarik mengunjungi kota ini. Padahal kota mungil ini sangat unik dan tertata rapi, dengan penduduk yang ramah berbicara dalam bahasa Jerman, Perancis dan Luxemburg.
Saat itu memang saya belum menjadi penulis. Tapi dari kecil saya yang pendiam, nyaris jarang mengeluarkan suara, senang observasi, mengamati orang-orang di sekitar saya, mengapa orang melakukan a dan bukan b. Dan di sanalah di Trier, kota kecil dengan sangat banyak gereja dan basilica, saya mengamati dan berpikir menerka-nerka mengapa seorang Karl Marx bisa mengeluarkan paham marxisme.
Dugaan saya adalah karena di masa itu pejabat oknum gereja semena-mena terhadap rakyat kelas bawah (pekerja), Karl Marx sendiri berasal dari keluarga kelas menengah. Maka dari hasil mengamati rumah Karl Marx , membaca buku tentang dia, melihat Trier, kota tempat Karl Marx dilahirkan, saya menjadi maklum, bukan memihak atau menghakimi. Saya hanya berusaha mencari hikmah untuk diri saya.
Waktu SMP saya pertama kali membaca buku Pak Pramudya Ananta Toer, "Bumi Manusia" sebenarnya itu buku bacaan kakak pertama saya yang saat itu sudah kuliah. Membaca cerita Bumi Manusia, mengingatkan saya akan cerita alm nenek saya tentang kehidupannya sebagai istri mantri kehutanan di Blora dan Cepu. Dan saya versi remaja langsung mengkhayal nanti saat besar akan menjadi penulis. Lalu beberapa tahun kemudian ada kehebohan saat seorang penulis yang banyak bukunya best seller dan beberapa sudah difilmkan menulis status tentang sejarah yang salah/ menyesatkan
Reaksi orang-orang ternyata beragam, yang saya bingung reaksi orang yang menjadi sangat melebar lalu mendiskreditkan buku-buku karya penulis, fisik penulis, memboikot buku penulis, bahkan terakhir menyalahkan penerbit. Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan status penulis tersebut, cuma reaksi saya ngga lebai, saya hanya mencari hikmah dan pelajaran dari kasus tersebut. Saya hanya ingin berusaha ADIL.
Sejak status beliau sudah tidak bisa saya terima oleh akal dan hati saya, saya memutuskan untuk unfollow. Status seorang penulis di media sosialnya adalah tanggung jawab dia pribadi, bukan tanggung jawab penerbit. Tidak setuju pada pendapat orang adalah hak kita, karena Tuhan pun memberikan kebebasan berpikir. Tetapi saya berprinsip tetap adil sekalipun kita tidak setuju.
Untuk orang-orang yang berpendidikan tinggi, alangkah indahnya jika perbedaan pendapat itu dituangkan dalam tulisan, bukan hanya membuat status yang hanya membully. Buatlah buku yang jauh lebih baik dari si penulis, sanggah pendapatnya di buku anda. Itu baru keren. Karena menulis buku tentu beda dengan menulis status FB atau twitter, dibutuhkan stamina mental dan fisik tinggi dan riset yang mendalam
No comments:
Post a Comment